Sabtu, 28 Mei 2011

Benarkah CSR dan Green Energy solusi bagi krisis listrik di indonesia?

Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan sumberdaya alamnya termasuk potensi untuk pemenuhan energi bagi kebutuhan warga Negara. Namun ironisnya sumberdaya alam tersebut tidak mampu dikelola dengan baik sebagai potensi sumber energi bagi pembangunan peradaban masyarakat dan bangsa negeri ini. Faktanya sekarang ini negeri kita mengalami krisis energi baik untuk pemenuhan bahan bakar maupun energi untuk listrik. “Tikus mati di lumbung padi,” sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pengelolaan sumberdaya alam bagi pemenuhan energi negeri ini.

Listrik bagian dari kebutuhan warga yang mesti dipenuhi oleh pemerintah tidak bisa diakses oleh seluruh penduduk dan parahnya lagi pemenuhan bagi kelompok warga yang sudah terjangkaupun mengalami defisit sehingga di banyak daerah selalu terjadi pemadaman bergiliran. Bukan saja ini sangat berpengaruh pada penyediaan listrik bagi rumah tangga namun juga berpengaruh para kemampuan warga dan dunia usaha dalam berproduksi.

Sementara itu berbagai solusi yang ditawarkan masih bersifat parsial dan jangka pendek. Pemenuhan energi untuk listrik masih mengandalkan energi fosil yang bersifat terbatas dan tidak terbarukan. Hal ini terlihat dari rencana pembangunan pembangkit listrik 10 Gwh dengan mengandalkan batubara sebagai pengganti bahan bakar minyak yang semakin menipis. Padahal kita ketahui sumber energi fosil baik migas maupun batubara adalah bahan utama penyebab terjadinya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca. Sedangkan potensi energi alternatif atau energi terbarukan yang cukup melimpah di negeri ini tidak benar-benar dimanfaatkan dengan baik dan tidak menjadi prioritas utama yang didahulukan dalam rangka mengatasi krisis listrik yang terjadi.

Disisi lain, kegagalan pemerintah sebagai pemegang mandat tanggungjawab pengurus Negara dalam memenuhi kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat dan dalam hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi warga Negara justru kemudian mengalihkannya kepada pihak swasta dengan mendorong program Corporate Social Responsibility atau biasa disingkat CSR. Dan menjadi pertanyaan besar apakah CRS melalui “Green Energy” dapat menjawab persoalan fundamental krisis listrik di Indonesia saat ini. Dimana persoalan utama krisis listrik tersebut adalah bukan pada ketidakberdayaan masyarakat dan ketiadaan energi terbarukan (ramah lingkungan) namun pada ketimpangan dan ketidakadilan akses dan kontrol dalam pengelolaan sumberdaya energi di negeri ini.


Sumber : WALHI

Kamis, 26 Mei 2011

Dukung Envicoustic! :D

Hey Envirangers! Ayo dukung EnviCoustic di ajang IAC :)

Kalian bisa mengunduh karya lagu EnviCoustic yang berjudul Mencari dan memberi yang terbaik di bawah ini :

Minggu, 01 Mei 2011

Selamatkan Bumi! Pulihkan Indonesia!

Dalam tiga ratus tahun terakhir sejak revolusi Industri, kemajuan pengetahuan manusia akan bumi dan alam semesta ternyata berbanding terbalik dengan penghormatan manusia terhadap alam. WALHI melihat, bahwa tata kuasa, konsumsi dan produksi modern yang bercorak pemenuhan pasar dan exploitasi sumber daya alam tanpa menghitung daya dukung lingkungan menjadi sebab utama masalah.

Karbon Karbon merupakan unsur keempat paling berlimpah di alam semesta dan merupakan kebutuhan untuk semua makhluk hidup. Jumlah normal carbon terpapar yang sudah melebihi 350 ppm, telah menyebabkan Daur hidrologi menjadi terganggu, titik kesetimbangan berubah dan teah menyebabkan bencana ekologis yang menelan kerugian yang tidak sedikit. WALHI mencatat dalam tahun 2010 Saja telah terjadi lebih dari 286 kali bencana ekologis. Dan tersebar merata diseluruh wilayah Indonesia.

Dampak perubahan iklim juga telah menyebabkan meningkatkanya kerentanan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di pesisir, potensi tenggelamnya pemukiman akibat naiknya permukaan air laut merupakan dampak nyata yang akan dialami oleh masyarakat jika tindakan penncegahan tidak segera dilaksanakan.

Namun terlampau besarnya carbon yang terlepas dan semakin kecilnya tutupan hutan, telah menyebabkan siklus ini terganggu. Sementara itu, siklus air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir (melalui pengembunan, proses perubahan molekul maupun proses transpirasi) tidak lagi berjalan seimbang. Air bersih yang turun ke bumi dalam bentuk hujan, tidak lagi meresap maksimal ke dalam tanah, tapi mengalir menjadi banjir, dan terbuang kelaut sebelum melayani manusia. Air sebagai rahmat kehidupan, berubah menjadi bencana.

Dalam tiga ratus tahun terakhir sejak revolusi Industri, kemajuan pengetahuan manusia akan bumi dan alam semesta ternyata berbanding terbalik dengan penghormatan manusia terhadap alam. WALHI melihat, bahwa tata kuasa, konsumsi dan produksi modern yang bercorak pemenuhan pasar dan exploitasi sumber daya alam tanpa menghitung daya dukung lingkungan menjadi sebab utama masalah.

Kondisi Bumi Indonesia

Laporan Walhi sepanjang 2010 mencatat, bahwa terjadi 74 pencemaran air yang menyebabkan 5 danau, 4 laut dan 65 sungai yang sebelumnya tidak tercemar, menjadi tercemar. Hal ini tentu akan menambah kelangkaan air bersih. Karena lima tahun lalu, Walhi mencatat, terdapat 64 DAS dan sub DAS dari 470 dalam kondisi yang kritis. Yang tersebar di Sumatera (12 DAS/sub DAS), Jawa (26 DAS/Sub DAS), Kalimantan (10 DAS/sub DAS), Sulawesi (10 DAS/Sub DAS), Bali, NTB dan NTT (4 DAS), Maluku serta Papua (2 DAS).

Di sisi lain, Konversi hutan menjadi kawasan non hutan masih merupakan penyumbang terbesar dari hilangnya keragaman hayati dan kerusakan hutan secara permanen, peningkatan pemberian ijin bagi usaha perkebunan kelapa sawit skala besar dan pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan. Luas kawasan perkebunan kelapa sawit berdasarkan data sawit watch meningkat sebesar 1,26 juta ha naik dari 7,82 juta ha di tahun 2009 menjadi 9,09 juta ha ditahun 2010. Sementara itu tambang dikawasan hutan meluas dengan diberikannya ijin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan di Halmahera dengan Weda Bay Nikel seluas 13,3 ribu ha dan di Gorontalo dengan Gorontalo Mineral seluas 14 ribu ha dengan demikian di tahun 2010 telah diberikan ijin pinjam pakai kawasan untuk pertambangan lebih dari 150 ribu ha. (WALHI 2011).

Dampaknya pada Indonesia

WALHI mencatat sepanjang 2010 mencatat, bahwa terjadi 74 pencemaran air yang menyebabkan 5 danau, 4 laut dan 65 sungai yang sebelumnya tidak tercemar, menjadi tercemar. Hal ini tentu akan menambah kelangkaan air bersih. Karena lima tahun lalu, Walhi mencatat, terdapat 64 DAS dan sub DAS dari 470 dalam kondisi yang kritis. Yang tersebar di Sumatera (12 DAS/sub DAS), Jawa (26 DAS/Sub DAS), Kalimantan (10 DAS/sub DAS), Sulawesi (10 DAS/Sub DAS), Bali, NTB dan NTT (4 DAS), Maluku serta Papua (2 DAS).

Selama tahun 2010, banjir terjadi 345 kali di wilayah Indonesia. Ini berakibat pada kerugian materil dan imateril. Rumah, kebun, sawah, tambak dan sumber-sumber kehidupan rakyat rusak, menimbulkan kerawanan Pangan hingga memperbesar angka kemiskinan di Indonesia.

Dari sisi sebaran wilayah, banjir terbesar terjadi di Pulau Jawa, sebuah pulau di Indonesia yang telah dieksploitasi lebih dari 400 tahun dan telah mengalami kerusakan sistem hidrologi dan deforestasi yang masif. Sementara itu banjir di luar Jawa, memperlihatkan karakteristik baru di mana banjir surut setelah dua bulan. WALHI melihat bahwa banjir yang terjadi seperti di Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan, disebabkan oleh perubahan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit, tambang dan industri kayu mulai memperlihatkan dampak.

Dari Sabang sampai Merauke, Tanah, Air, Angkasa dan Manusia Indonesia mengalami tekanan yang berat. Hal ini terlihat pada laju pertambahan penduduk, berbanding terbalik dengan keadilan penguasaan lahan, produksi dan akses pangan. Hal ini menjadi sebab bagi merebaknya kemiskinan dan kelaparan di bumi kaya sumber daya alam ini. Data BPS 2009 menyebutkan bahwa penduduk miskin Indonesia sebesar 32,5 juta jiwa dan sebagian besar berada di pedesaan yang berprofesi sebagai petani kecil dan buruh tani.

Disisi lain menurut data BPN (2007) hampir 70 % aset nasional indonesia dikuasai oleh 0,02% penduduk, dan lebih dari 50 % dari aset itu merupakan tanah pertanian (beserta kandungannya).

SOleh karena itu sebagai upaya menyelamatkan bumi dari kehancuran,upaya penyelamatan bumi, kerja-kerja melalui momentum hari BUMI yang telah diperingati sejak tahun 1970, WALHI menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk saling bahu membahu guna memulihkann di seluruh Indonesia dari krisis akibat dari ekploitasi sumber-sumber kehidupan yang tidak memperhatikan daya dukung dan kemampuan pelayanan ekosistem. Tindakan nyata dengan cara menghentikan setiap aktivitas yang merusak dan mengancam baik yang datang dari pemerintah, Negara lain serta siapapun harus segera dihentikan. Mengembalikan fungsi ekologis adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditunda lagi, kita sudah tidak punya cukup waktu untuk menunggu karena kondisi yang ada sekarang sungguh sudah memprihatinkan.

diarahkan pada upaya Pulihkan Indonesia. WALHI juga akan terus mengampanyekan agar Indonesia menggunakan paradigma kedaulatan pangan yang pro lingkungan, seiring dengan dilaksanakannya agenda Reforma Agraria dan Restorasi Ekologi sebagai bagian dari pembaruan tata kuasa, tata konsumsi dan tata produksi demi terwujudnya keadilan ekologis.


Sumber : WALHI